1 Mar 2011

memoriam, in a memoiring..

Hari itu, sekitar setahun yang lalu, rasa suka dan rasa duka menghampiriku dalam waktu yang hampir bersamaan. Rasa suka karena aku bertemu dengan seorang sahabat lama, dimana waktu telah memisahkan kami selama 7 tahun lebih. Semua sudah tampak berubah. Raut wajah polosnya sudah begitu dewasa. Tubuh idealnya tumbuh menggempal. Rambut cepaknya tumbuh lurus memanjang. Tapi satu yang tidak pernah berubah, tanngal lahir kami tetap sama. Ia, Muhammad Akbar Nusantara.

Masih tidak asing di ingatan kami, saat-saat ketika kami duduk sebangku, belajar, kerja tugas, menyontek, bahkan berkelahi, sesuatu yang tidak bisa dilewatkan ketika zaman seragam putih merah kala itu (sekarang, seragam SD sudah beragam warnanya, kayak pelangi atau warna permen saja). Akbar juga anak yang pintar di kelas. Nama kami sudah biasa bergantian menyandang gelar ranking satu setiap pergantian caturwulan. Kadang kalau sudah jam istirahat, ia mengajakku dan teman-teman lainnya ke rumahnya hanya untuk sekedar memamerkan mainan baru yang dibelikan oleh ibunya. Dan kalau sudah sampai di rumahnya, ia lebih dulu memastikan bahwa neneknya tidak ada, barulah kami bisa masuk. Neneknya selalu marah ketika Akbar membawa banyak temannya ke rumah. Dan akan lebih marah lagi kalau salah satu dari kami ada yang menyentuh tanaman kesayangannya, yang hanya berupa beberapa tangkai daun miyana, seingatku.

Cukup lama kami bercerita tentang masa kecil kami. kami saling menertawai keanehan, kebodohan, dan kepolosan kami waktu itu. Cerita tentang teman-teman lain juga tidak kalah lucunya. Hanya saja aku sudah agak lupa cerita lucu siapa yang diceritakan olehnya. Masih asyik aku berusaha mengingat-ingat lagi kejadian lucu masa kecil itu, Akbar lalu terdiam. menunduk. Senyumnya terhenti. Pelan ia mengangkat kepalanya lalu menoleh kearahku. Ia kemudian bertanya apa aku masih ingat dengan seorang teman yang bernama Muhammad Faisal. Ya, aku masih ingat, gumamku. Tetapi belum sempat aku menjawab, ia spontan berkata,
  "meninggal mi  Faisal.."

Aku hanya bisa diam. Suka berubah menjadi duka. Secara refleks, tangan kananku terangkat seolah ingin menahan kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Beberapa detik kami terdiam. Aku berusaha memastikan Faisal yang ia maksud dengan menyebutkan ciri-cirinya, dan ia membenarkan. Aku berusaha lagi memastikan Faisal yang ia maksud dengan mengulang lagi ciri-cirinya, ia tetap membenarkan. Walaupun ia tahu bahwa aku ingin ia berbohong padaku tentang hal ini. Tapi, ia tidak bisa berbohong. Juga tidak ada alasan untuk berbohong padaku. Aku memang harus tahu itu, walau kadang kejujuran itu lebih menyesakkan dibanding kebohongan yang ditutup-tutupi.

Aku masih terdiam, dan akbar mulai melanjutkan apa yang ia ingin aku tahu tentang almarhum teman kami itu. Faisal sudah lama meninggal, tepatnya beberapa tahun setelah kami lulus SD. Ya, ia masih duduk di bangku SMP kala itu. Ia meninggal karena terkena demam berdarah. Katanya, waktu itu Faisal demam beberapa hari, tetapi ia tetap menolak untuk dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Beberapa kali ibu dan kakaknya memaksa agar Faisal mau diajak berobat. Tetapi Faisal bersikeras menganggap bahwa dirinya hanya sedang demam biasa. Ibunya tidak bisa memaksa, walau dalam hatinya penuh dengan rasa khawatir atas kondisi kesehatan anaknya. Dan beberapa hari kemudian, kondisinya semakin memburuk, dan akhirnya Faisal meninggal.

Aku sama sekali tidak tahu kabar itu. Rumahku jauh dari kompleks SD itu. Juga tidak ada satu pun teman SD ku yang satu SMP denganku. Andai saja aku tahu kabar itu lebih awal. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosanya. Aku berdoa dalam diam.

Aku dan almarhum Faisal sama dekatnya dengan aku dan Akbar. Aku bahkan lebih sering ke rumah almarhum daripada ke rumah akbar. Keluarganya juga telah menganggapku sebagai bagian dari mereka. Masih segar dalam ingatanku, ketika kami sudah kelas V SD, diadakan bimbingan belajar tambahan di sekolah, yang waktunya dimulai satu jam setelah pelajaran berakhir, sampai lepas ashar sekitar pukul 4 sore. Karena rumahku jauh dari kompleks SD, sering aku ikut almarhum Faisal pulang ke rumahnya, sembari menunggu waktu pelajaran tambahan dimulai. Di rumahnya, kami biasa main game seperti anak-anak seusia kami lainnya. Ibunya selalu meyediakan makan siang buatku, walaupun aku juga selalu membawa bekal dari rumah karena tidak ingin merepotkan keluarga almarhum Faisal, yang sudah ditinggal oleh sosok ayah 2 tahun sebelumnya. Kata ibunya, memang semenjak ditinggal ayahnya, almarhum mulai sedikit berubah sifatnya. Almarhum mulai sering membentak, marah-marah tidak jelas, atau keluar rumah tanpa izin. Faisal kecil itu seolah stres di tinggal oleh sosok panutannya yang sangat ia idolakan. Aku bisa melihat perubahan itu di sekolah. Ia mulai malas belajar, kurang memperhatikan pelajaran, dan sedikit keras dalam pergaulan. Aku bisa mengerti perasaanya waktu itu.

Kini, Faisal telah bersama ayahnya, bersama sosok panutannya. Aku yakin, ia tenang di pelukan ayahnya, di alam sana.

Selamat tinggal, sahabat.

Terima kasih telah mengisi sebagian kecil dari rangkaian mozaik kehidupanku.

- Inna lillaahi wa inna ilaihi rojiun -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar